Distribusi Pendapatan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dua masalah besar yang umumnya dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) (Tambunan,2001).Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan merupakan sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di Negara maju maupun negara berkembang, dan juga selalu menjadi isu penting untuk ditinjau. Dinegara berkembang masalah ketimpangan telah menjadipembahasan utama dalam menetapkan kebijakan sejak tahun tujuh puluhan yanglalu. Perhatian ini timbul karena adanya kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi.
Permasalahan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kemiskinan, biasanya terjadi pada negara miskin danberkembang. Menurut Lincolin Arsyad
(1997), banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang semacam itu hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Di negara-negara miskin yang menjadi perhatian utama adalah masalah pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Banyak
orang merasakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi gagal untuk mengurangi bahkan
menghilangkan besarnya kemiskinan absolut di Negara Sedang Berkembang (NSB). Dengan
kata lain, pertumbuhan GNP (Gross National Product) per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bahkan, pertumbuhan GNP per kapita di
beberapa negara yang sedang berkembang (seperti India, Pakistan, Kenya) telah menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup penduduk miskin baik di perkotaan maupun pedesaan.
Sebagai suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau, perbedaan karakteristik wilayah
adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Karena karakteristik wilayah
mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga suatu
kewajaran bila pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam. Ketidakseragaman
ini berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada gilirannya mengakibatkan
beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lainnya tumbuh lambat.
Kemampuan tumbuh ini kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan
maupun pendapatan antar daerah.
Rumusan Masalah
- Mengetahui apa itu distribusi pendapatan
BAB II
TELAAH LITERATUR
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999). Distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua ukuran pokok yaitu; distribusi ukuran, adalah besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro, 2000). Dari dua definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari
kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya. Untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan atau mengetahui apakah distribusi pendapatan timpang atau tidak, dapat digunakan kategorisasi dalam kurva Lorenz atau menggunakan koefisien Gini.
Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan salah satu inti masalah pembangunan, terutama di Negara Sedang Berkembang. Melalui pembahasan yang mendalam mengenai masalah ketidakmerataan dan kemiskinan dapat dijadikan dasar untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus seperti pertumbuhan penduduk, pengangguran, pembangunan pedesaan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Lincolin Arsyad (1997), cara yang sangat sederhana untuk mendekati masalah distribursi pendapatan dan kemiskinan adalah dengan menggunakan kerangka kemungkinan produksi.
Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi pendapatan terhadap
kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk
cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat
miskin. Sebagian besar keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak
sehingga kondisi perekonomian mereka yang berada digaris kemiskinan semakin memburuk
seiring dengan memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.
Salah satu penyebab dari kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya yang selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
Penelitian Terdahulu
Studi empiris mengenai kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan telah banyak dilakukan. Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan topik tersebut.
1.Daniel Suryadarma, dkk (2005), dalam penelitiannya
berjudul A Reassessment of Inequality and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan ketimpangan pada saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi dan saat terjadi krisis, serta menguji apakah ketimpangan berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini memberikan gambaran tentang ketimpangan di Indonesia selama periode tahun 1984 hingga 2002 dengan menggunakan beberapa pengukuran ketimpangan yaitu Gini Rasio, Generalized Entropy(GE) Index, dan 12 Atkinson Index. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwawalaupun ketika
terjadi krisis semua metode pengukuran menunjukkan penurunan ketimpangan, namun sebenarnya terjadi peningkatan tetapi dibawah gariskemiskinan. Penelitian ini
menunjukkan adanya penjelasan penting yaitu bahwa tingkat kemiskinan menurun dengan cepat antara tahun 1999 dan 2002, yang disebabkan karena ketimpangan selama krisis pada tahun 1999 berada pada tingkat paling rendah.
2.Bosman Pangaribuan (2005), dalam penelitiannya yangberjudul Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blora menggunakan Analisis Shift Share, LQ, dan Index Williamson untuk mengukur PDRB, PDRB/kapita, jumlah penduduk, sektor basis, sektor non basis. Menururt Bosman berdasarkan analisis Indeks Williamson, Kabupaten Blora dapat dikatakan mengalami pemerataan tingkat pendapatan. Indeks Williamson menunjukkan rata-rata0,314 selama tahun pengamatan. Angka ini masih di bawah ambang kritis 0,5.
3.R. Gunawan Setianegara (2008), dalam penelitiannya berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan, Krisis Ekonomi dan Kemiskinan, bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketimpangan pendapatan yang dipengaruhi oleh krisisekonomi mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dalam penelitian ini juga menggambarkan bagaimana keadaan ketimpangan pendapatan Indonesia dimulai dari tahun 1960-an hingga akhir tahun 1999 menggunakan alat pengukur ketimpangan yaitu Gini Rasio. Menurut Gunawan, ada banyak analisis yang membuktikan bahwawalaupun tingkat pertumbuhan tinggi akan selalu menyebabkan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi. Selain itu jumlah penduduk miskin di Indonesia juga akan selalu berubah seiring tinggi rendahnya tingkat ketimpangan pendapatan.
BAB III
PEMBAHASAN
Konsep-konsep Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi akan mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Terdapat berbagai kriteria atau tolok ukur untuk menilai kemerataan distribusi pendapatan nasional, tiga diantaranya yang paling lazim digunakan.
2.1.1 Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif juga. Selain itu kurva ini juga memperlihatkan hubungan kumulatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerimaan pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama, misalnya satu tahun.
Kurva ini terletak dalam sebuah bujur sangkar yang sumbu horizontalnya menggambarkan persentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikalnya menggambarkan persentase kumulatif pendapatan nasional. Garis diagonal yang membagi bujur sangkar disebut “garis kemerataan sempurna” dimana Kurva Lorenz akan ditempatkan. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menggambarkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata, sebaliknya jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung) berarti distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
Ketidakmerataan Pendapatan Nasional
Ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan salah satu permasalahana pembangunan sebab pertumbuhan ekonomi tidak banyak bermanfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila distribusi hasil pembangunan tidak merata. Terdapat 8 (delapan) penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan, diantaranya: pertumbuhan penduduk yang tinggi, inflasi, pembangunan daerah tidak merata, penggangguran tinggi, mobilitas sosial rendah, memburuknya nilai tukar produk NSB, dan hancurnya industri kerajinan rakyat.
Distribusi atau pembagian pendapatan antar lapisan pendapatan masyarakat ditelaah dengan mengamati perkembangan angka-angka rasio Gini. Namun koefisien ini sendiri bukanlah merupakan indikator paling ideal untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan. Derajat ketidakmerataan pendapatan dinyatakan dengan koefisien Gini (Gini Ratio), yang bernilai 0 (Kemerataan sempurna) sampai dengan 1 (Ketidakmerataan sempurna). Sebaran Gini Ratio berkisar antara 0,50-0,70 = ketidakmerataan tinggi, 0,36-0,49 = ketidakmerataan sedang, dan 0,20-0,35 = ketidakmerataan rendah. Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. Dalam Ilmu Ekonomi Industri, Koefisien Gini juga dapat dipergunakan untuk melihat konsentrasi pasar.
Koefisien Gini yang ditaksir melalui pendekatan pengeluaran sebenarnya kurang relistis, cenderung kerendahan. Hal ini mengingat di dalam data pengeluaran, unsur tabungan yang merupakan bagian dari pendapatan tidak turut terhitung. Padahal porsi pendapatan ditabung umumnya cukup besar di lapisan masyarakat berpendapatan tinggi.
2.2.2 Ketidakmerataan Pendapatan Spasial
Ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat bukan saja berlangsung secara nasional akan tetapi hal itu juga terjadi secara spasial atau antar daerah yakni antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Ketidakmerataan pendapatan yang berlangsung antar daerah tidak hanya dalam hal distribusinya, tapi juga dalam hal tingkat atau besarnya pendapatan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan cara membandingkan persentase penduduk pedesaan terhadap penduduk perkotaan untuk tiap-tiap golongan pendapatan.
Porsi penduduk pedesaan yang berada pada rentang pendapatan lapis bawah lebih besar dari pada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya pada rentang lapis atas, porsi penduduk perkotaan lebih kecil.
2.2.3 Ketidakmerataan Pendapatan Regional
Secara regional atau antar wilayah, berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat. Bukan hanya itu, diantara wilayah-wilayah di Indonesia bahkan terdapat ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri. Jadi, dalam perfektif antar wilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkatan pendapatan masyarakat antara wilayah yang satu dengan yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan di kalangan penduduk masing-masing wilayah.
Dalam perbandingan antara pulau Jawa dengan luar jawa, secara umum distribusi pendapatan di kalangan lapisan-lapisan luar jawa lebuh baik dari pada di Jawa.
Dalam hal tingkat pendapatan sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok diantara wilayah-wilayah tanah air. Perbandingan ini dapat dilakukan melalui angka-angka produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar propinsi.
2.3 Kesenjangan sosial
Di lihat berdasar indikator, terlihat masih berlangsungnya kesenjangan kesejahteraan antara penduduk desa dan penduduk kota. Bahkan untuk beberapa variable atau indikator, sekalipun skor kesejahteraaannya mengisyaratkan adanya perbaikan, perbedaan itu cukup signifikan. Persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang dapat membaca lebih besar di kota daripada di desa. Keadaan bayi dan anak-anak balita di kota lebih baik daripada mereka yang tinggal di desa. Kelayakan rumah penduduk kota jauh lebih baik daripada rumah penduduk di desa. Indeks mutu hidup di kota lebih baik daripada di desa. Semua ini cukup untuk membuktikan betapa masih memperhatikannya kesenjangan sosial antara penduduk desa dan penduduk kota.
Ketidakmerataan atau ketimpangan diukur dengan berbagai variabel serta dalam berbagai dimensi. Hal ini merupakan fenomena sampingan yang tak terelakan dalam PJP I. Ketimpanagan yang bersifat majemuk dan berskala nasional. Kendati sejak Pelita III aspek pemerataan menepati urutan sekaligus prioritas utama, namun dalam pelaksaanya tampaknya tidak sepenuhnya ditepati. Tekanan pembangunan sejak pelita III sebagaimana tercermin dari berbagai program atau proyek semisal pembangunan pembangunan SD inpers,pasar inpers,puskesmas dan berbagai sarana public lainnya. Hal ini tertuju pada upaya pengurangan kemiskinan, bukan upaya pemerataan. Pengurangan kemiskinan, bukan upaya pemerataan. Pengurangan kemiskinan memang perlu karena kemiskinan bertalian dengn ketimpangan. Sebagai suatu bangsa, bukan hanya ingin hidup lebih makmur, tetapi mendambakan kebersamaan dan kemakmuran kesejahteraan bersama yang relative setara, tanpa perbedaan satu sama lain.
Kesejahteraan merupakan keinginan lahiriah. Keadaan seperti itu dapat memenuhi kepuasan hidup manusia secara individu. Manusia merupakan makhluk social, setiap orang merupakan bagian hidup dari masyarakat. Dalam kapasitas sebagai makhluk social,manusia membutuhkan kebersamaan dengan manusia lain dalam masyarakat. Kesetaraan kemakmuran dalam arti perbedaan yang tidak terlalu mencolok, merupakan salah satu sarana yang memnungkinkan orang dapat hidup bermasyarakat dengan baik dan tenang,tidak menimbulkan kecemburuan social. Kemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran. Penguragan ketimpangan atau kesenjangan sama pentingnya dengan pengurangan kemiskinan
2.4 Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Ketimpangan tersebut berupa pendapatan per kapita kegiatan atau proses pembangunan, ketimpangan spasial, serta ketimpangan sektoral dan regional. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat dari banyak hal, seperti bermunculannya kawasan kumuh (slumps) yang berada di tengah kota, selain itu juga dengan hadirnya pemukiman mewah yang berada di pinggiran kota. Perbedaan gaya hidup yang mencolok dalam masyarakat jua turut menjadi bukti terjadinya ketimpangan pembangunan.
Dalam mengatasi masalah ketimpangan pembangunan yang terjadi telah ada upaya untuk menanggulanginya seperti Peltia III, dilakukan dengan menempatkan pemerataan sebagai prioritas pertama dalam trilogi pembangunan. Tetapi hasilnya hingga kini belum juga memuaskan. Ketimpangan pada sektoral dan regional dalam suatu pembangunan dapat dilihat dengan menelaah perbedaan yang mencolok dalam aspek penyerapan tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan. Ketimpangan pertumbuhan anatara sektor tidak hanya terjadi pada masa pelita I sampai pelita V saja, namun juga direncanakan pada masa yang akan datang. Pada aspek pertumbuhan, ketimpangan sektoral akan terlihat mencolok apabila membandingkan antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan.
Ketimpangan pertumbuhan antara sektor, khususnya sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan suatu hal yang memang telah direncanakan. Perencanaan ini terkait dengan cita-cita nasional yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara industri. Demi mencapai negara yang maju, industrialisasi telah dipilih sebagai jalur pembangunan negara. Namun jika hanya berfokus pada sektor industri saja, maka tentunya dari sektor pertanian akan menglami ketimpangan. Seperti lahan pertanian akan semakin berkurang karena digunakan untuk lahan industri. Padahal sektor pertanian ini merupakan salah satu sumber pendapatan yang banyak didapat dari negara Indonesia. Oleh karena itu disamping peningkatan sektor industri, dari sektor pertanian juga tetap harus dipertahankan atau paling tidak diperbaiki lagi agar mutunya bisa lebih bagus.
Terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan nasional merupakan masalah yang sering terjadi dalam negara yang sedang berkembang. Berawal dari pendistribusian pendapatan nasional yang tidak merata, lalu berdampak pada ketimpangan pendapatan daerah dan memicu terjadinya dampak meningkatnya angka kemiskinan. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan ketimpangan pembangunan yakni :
- Saat pertama kali diadakan Pelita, sumber daya alam, kapital dan sarana prasarana tidak setara terhadap sumber daya manusia, sektor ekonomi, serta wilayah. Sehingga peluang dan harapan dalam pembangunan menjadi tidak seimbang. Ada yang cepat menyerap tenaga kerja, namun ada juga yang lamban dalam menyerap tenaga kerja.
- Terlalu berpusat pada sektor industri, sehingga sektor-sektor perekonomian yang lainnya cenderung diabaikan. Padahal sektor yang lainnya tersebut tetap dalam kondisi yang stagnan, terutama dari sektor pertanian, karena pada dasarnya Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan dari sektor pertaniannya. Sebagaimana keyakinannya yang cenderung condong terhadap sektor industri tentu nantinya akan berprinsip efisiensi sebagai pijakan utama. Sektor industri selalu memproduksi barang dan jasa serta berprinsip mencari keuntungan yang banyak dengan modal yang sedikit. Dari kegiatan produksi tersebut tentu nantinya akan banya tercipta para pemilik modal. Akibat dominasi modal maka setiap hasil produksi tersebut nantinya akan banyak menguntungkan dari para pemilik modal. Sedangkan dari para tenaga kerja mendapat penghasilan yang tetap dari upah yang diberikan pemilik tanah. Para pemilik tanah mendapatkan laba dari sewa tanah yang telah disepakati dengan pemilik modal.
Dalam sistem pembagian pendapatan ini cenderung ditetapkan secara sepihak olehpemilik lahan akibat posisi tawar mereka yang jauh lebih kuat daripada para buruh tani. Oleh karena itu, ketimpangan pemerataan pendapatan dalam hal ini bukanlah merupakan dari kebijakan pemerintah yang mengutamakan sektor tertentu, namun karena ketidak adilan pembagian hasil pendapatan.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis regresi dan pembahasan terhadap variabel- variabel penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan pnelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.Dari ke dua variabel yang dianalisis keduanya berpengaruh signifikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah yaitu variabel Indeks Gini dan Indeks Williamson.
2.Untuk uji F dapat diketahui bahwa tingkat signifikansi sebesar 0,006, dengan nilai F
hitungnya 16,686 dan F tabel 2,78. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan variabel
independennya mampu menerangkan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
3.Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,87 hal ini berarti 87 persen variasi Jumlah
Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah bisa dijelaskan dari kedua variabel independen. Sedangkan sisanya 13 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain diluar model.
4.Dari hasil perhitungan regresi diketahui bahwa Indeks Gini dan Indeks Williamson
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan, Badan Penerbit STIE YPKN, Yogyakarta.
Arsyad, Lincolin, 1997, Pengantar Perencanaan dan Ekonomi Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE, Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun, Jawa Tengah Dalam Angka, Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun, PDRB Jawa Tengah, Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun, Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Jawa Tengah, Jawa Tengah. Dumairy, 1999,
Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.