Macam-macam Pedagang Perantara Berdasarkan Hukum Dagang

Macam-macam Pedagang Perantara Berdasarkan Hukum Dagang

Pedagang Perantara

Menurut Agus Sardjono dkk dalam bukunya Pengantar Hukum Dagang (hal. 108), istilah yang digunakan terkait dengan pedagang perantara adalah lastgeving yang kadang diterjemahkan secara berganti-ganti dengan penyuruhan, pemberian kuasa, atau keagenan. Landasan utama dari kegiatan pedagang perantara adalah kontrak atau perjanjian, khususnya antara pihak yang menyuruh dan pihak yang disuruh untuk melakukan suatu pekerjaan atau urusan.

Pengertian penyuruhan atau yang lebih banyak dikenal sebagai pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.[1]

Macam-macam Pedagang Perantara

Lebih lanjut Agus Sardjono dkk (hal. 111) menjelaskan bahwa, pedagang perantara yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) antara lain: bursa dagang, makelar, kasir, komisioner, ekspeditur, dan pengangkut.

Sedangkan pedagang perantara yang tidak diatur secara khusus di dalam KUHD antara lain: agen, distributor, dan yang sejenisnya.[2]

 

Macam-macam Pedagang Perantara dalam KUHD

  1. Bursa Dagang

KUHD memberikan definisi bursa dagang sebagai suatu tempat pertemuan para pedagang, juragan perahu, makelar, kasir dan orang-orang lain yang termasuk dalam gelanggang perdagangan. Pertemuan itu diadakan atas kekuasan Menteri Keuangan.[3]

Saat ini bursa dagang yang ada di Indonesia adalah Bursa Efek (Bursa Efek Indonesia) dan Bursa Berjangka Komoditi (Bursa Berjangka Jakarta) yang tunduk pada ketentuan-ketentuan UU Pasar Modal dan UU Perdagangan Berjangka Komoditi. Bentuk Usaha bursa dagang ini adalah Perseoran Terbatas. Perusahaan ini bertugas menyelenggarakan perdagangan efek dan komoditi. Di dalam bursa inilah para pialang atau pedagang perantara efek dan komoditi bertemu.[4]

  1. Makelar

Makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Ia menyelenggarakan perusahaan dengan melakukan pekerjaan atas amanat dan nama orang lain dengan mendapat upah atau provisi tertentu. Sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya itu, ia harus bersumpah di hadapan Pegadilan Negeri yang termasuk dalam wilayah hukumnya.[5]

Menurut Abdulkadir Muhammad, makelar seperti yang disebutkan dalam definisi tersebut tidak lagi dijumpai dalam dunia praktik. Hal ini dapat dilihat dalam praktik di Bursa Efek. Untuk dapat menjalankan kegiatan sebagai pedagang perantara di Bursa Efek, mereka harus mendapatkan izin usaha terlebih dahulu dari Bapepam. Namun tidak disyaratkan untuk mengangkat sumpah terlebih dahulu sebagaimana disebutkan dalam KUHD.[6]

Hubungan hukum antara makelar dengan si pemberi amanat didasarkan pada kontrak penyuruhan atau pemberian kuasa biasa. Hal ini dapat dilihat dari elemen atas amanat (op order) dan atas nama (op naam) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 62 KUHD.[7]

  1. Kasir

Kasir adalah seseorang, yang dengan menerima upah atau provisi tertentu, dipercaya dengan pekerjaan menyimpan uang dan melakukan pembayaran-pembayaran.[8]Saat ini, orang yang dimaksud adalah bank, yaitu suatu lembaga keuangan berupa perusahaan yang mewakili nasabah untuk melakukan:[9]

  1. Pembayaran kepada pihak ketiga;
  2. Penerimaan uang dari pihak ketiga;
  3. Penyimpanan uang milik nasabah.

Di samping melakukan kegiatan sebagai perantara, khususnya dalam kaitannya dengan pembayaran atau penerimaan uang, bank juga melakukan kegiatan usaha dengan memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan. Dalam posisi sebagai kreditor dalam hubungannya dengan nasabah berdasarkan perjanjian kredit, tentu saja bank tidak selalu dalam posisi sebagai kasir.[10]

Jadi kasir yang dimaksud sebagai pedagang perantara menurut KUHD adalah bank sebagai lembaga keuangan.

  1. Komisioner

Komisioner adalah perusahaan yang pekerjaannya membuat kontrak atas amanat orang lain, tetapi ketika komisioner membuat kontrak tersebut, ia melakukannya atas namanya sendiri. Dalam melaksanakan amanat tersebut, komisioner mendapatkan upah atau provisi dari si pemberi amanatnya.[11]

 

  1. Ekspeditur

Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan atau barang lainnya melalui daratan atau perairan. Orang yang disuruh oleh ekspeditur adalah pengangkut. Sedangkan ia sendiri disuruh oleh orang lain (pemilik barang) untuk mengirimkan barangnya ke tempat lain.[12]

Dengan demikian, tampak bahwa ekspeditur adalah perantara dari pemilik barang dan pengangkut yang mengangkut barang tersebut.[13]

 

  1. Pengangkut

Pengangkut adalah orang yang menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan pengangkutan itu sendiri diartikan sebagai perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan dari suatu tempat ke tempat lain dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar ongkos angkutan.[14]

Perjanjian pengangkutan adalah salah satu bentuk dari perjanjian pemberian jasa, sebagaimana disebut dalam Pasal 1601 KUH Perdata. Oleh karena itu, di samping tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum kontrak, perjanjian ini juga tunduk pada aturan-aturan hukum yang terkait dengan persoalan pengangkutan barang dan/atau orang.

 

Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pengertian “LITIGASI” itu apa? Apakah hanya sebatas proses membawa suatu sengketa ke meja peradilan saja, atau bagaimana? Apakah proses seperti “Mediasi”, “Arbitrase”, dan “Konsiliasi” bisa dikatakan bagian dari “LITIGASI”?

Berdasarkan penelusura, tidak ditemukan definisi litigasi secara eksplisit di peraturan perundang-undangan. Namun, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) berbunyi:

“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”

 

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.

Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di Pengadilan(hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.

Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).

Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:

  1. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
  2. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
  3. Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
  4. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.
  5. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya

Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam pengadilan (litigasi). Kita ambil contoh mediasi. Dari pasal tersebut kita ketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di dalam pengadilan.

Diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.

Sebenarnya lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.

Sebagai referensi lain untuk Anda, Anda juga dapat menyimak artikel kami berjudul Penyelesaian Perkara Pidana dan Perdata di Luar Jalur Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Arbitrase.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Artinya, bukan merupakan bagian dari lembaga litigasi meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi bagian dari proses litigasi, seperti mediasi yang dilakukan di pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan litigasi itu sendiri adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.

 

Prosedur Mediasi Perbankan di Era Otoritas Jasa Keuangan

Prosedur Mediasi Perbankan di Era Otoritas Jasa Keuangan

Apakah pelaksanaan mediasi perbankan yang sekarang dialihkan ke OJK masih sama dengan pelaksanaan mediasi perbankan di BI dan masih mengacu pada PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan?

Sejak Januari 2014 fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan mediasi perbankan dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk keperluan itu, OJK sudah menerbitkan sejumlah peraturan dan surat edaran, namun tidak secara tegas mencabut Peraturan Bank Indonesia yang mengatur masalah serupa sebelumnya.

Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan mediasi perbankan diatur berdasarkan:

  1. Peraturan Bank Indonesia (“BI”) No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Konsumen sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/10/PBI/2008 (“PBI No. 7/2005”);
  2. Peraturan BI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008;
  3. Surat Edaran BI No. 7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Konsumen sebagaimana diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/13/DPNP tanggal 6 Maret 2008; dan
  4. Surat Edaran BI No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan (“SEBI No. 8/2006”).

Untuk selanjutnya semua peraturan di atas disebut Peraturan BI.

Namun dengan berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) dan efektif sejak Januari 2014, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan mediasi perbankan dialihkan ke OJK. Dimana OJK lalu menerbitkan

  1. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (“POJK No.1/2013”);
  2. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (“POJK No. 1/2014”); dan
  3. Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan (“SE OJK No. 2/2014”)

Untuk selanjutnya semua peraturan di atas disebut Peraturan OJK.

Walaupun demikian, Peraturan OJK tidak mencabut keberlakuan Peraturan BI selama ketentuan-ketentuan dalam Peraturan BI tidak bertentangan dengan Peraturan OJK.

Berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku proses penyelesaian sengketa antara Bank (termasuk bank konvensional, bank syariah, bank perkreditan rakyat maupun kantor cabang bank asing) dengan Konsumen (didefinisikan sebagai pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan Bank, atau perwakilannya) dapat dibagi menjadi dua tahapan. Yaitu tahapan penyelesaian pengaduan Konsumen pada Bank dan tahapan penyelesaian sengketa melalui OJK.

 

Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Bank

POJK No.1/2013 mewajibkan setiap Bank untuk memiliki unit yang dibentuk secara khusus di setiap kantor Bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh Konsumen tanpa dipungut bayaran. Pengaduan harus didasari atas adanya kerugian/potensi kerugian finansial pada Konsumen karena kesalahan atau kelalaian Bank.

Berdasarkan PBI No. 7/2005 pengaduan tersebut dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan, pada setiap kantor Bank terlepas dari apakah kantor Bank tersebut merupakan kantor Bank tempat Konsumen membuka rekening dan/atau melakukan transaksi keuangan.

Atas pengaduan yang dilakukan secara lisan, Bank wajib menyelesaikannya dalam jangka waktu dua hari kerja terhitung sejak tanggal pencatatan pengaduan. Apabila diperkirakan memerlukan waktu lebih lama, maka petugas unit penanganan dan penyelesaian pengaduan pada kantor Bank pengaduan lisan tersebut disampaikan meminta Konsumen untuk mengajukan pengaduan secara tertulis.

Setelah menerima pengaduan tertulis dari Konsumen, Bank wajib menyelesaikan pengaduan terkait paling lambat 20 hari kerja sejak tanggal penerimaan pengaduan tertulis oleh Bank, dan dapat diperpanjang sampai dengan paling lama 20 hari kerja lagi dalam kondisi tertentu.

Kondisi tertentu tersebut seperti:

  1. pengaduan tertulis disampaikan pada kantor Bank yang berbeda dengan kantor Bank tempat terjadinya permasalahan yang diadukan sehingga terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor Bank tersebut;
  2. transaksi keuangan yang diadukan Konsumen memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen Bank; atau
  3. terdapat hal-hal lain di luar kendali Bank, keterlibatan pihak ketiga dalam transaksi keuangan yang dilakukan oleh Konsumen. Setiap perpanjangan wajib diberitahukan kepada Konsumen yang bersangkutan.

Penyelesaian pengaduan Konsumen sesuai dengan SEBI No. 1/2014 dapat berupa pernyataan maaf atau ganti rugi kepada Konsumen. Ganti rugi diberikan untuk kerugian yang bersifat material, dengan ketentuan, diantaranya: (i) Konsumen telah memenuhi kewajibannya; (ii) terdapat ketidaksesuaian antara produk dan/ atau layanan Bank yang diterima dengan yang diperjanjikan; (iii) pengaduan diajukan paling lama 30 hari sejak diketahuinya produk dan/ atau layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian; dan (iv) kerugian berdampak langsung pada Konsumen. Ganti rugi yang ditetapkan oleh OJK maksimum sebesar nilai kerugian Konsumen.

Penyelesaian Sengketa Melalui OJK

Jika pengaduan Konsumen tidak dapat diselesaikan oleh Bank, maka Konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan.

Berdasarkan POJK No. 1/2014 lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasi oleh asosiasi perbankan, yang berwenang untuk memeriksa sengketa dan menyelesaikannya melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase.

Jika belum terbentuk lembaga yang bersangkutan, Konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitas penyelesaian sengketa secara tertulis kepada OJK ditujukan kepada Anggota Dewan Komisioner OJK, Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Direktorat Pelayanan Konsumen OJK, Gedung Radius Prawiro Lantai 2, Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350.

Hingga saat ini, lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan belum terbentuk dengan demikian penyelesaian sengketa difasilitasi oleh OJK tanpa pungutan biaya.

Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa Melalui OJK

Berdasarkan SEBI No. 8/2006 jo. POJK No.1/2013 sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya melalui OJK adalah sengketa keperdataan dengan nilai sengketa yang diajukan maksimum sebesar Rp500.000.000. Jumlah maksimum nilai sengketa sebagaimana dimaksud sebelumnya dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Konsumen, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Konsumen dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Konsumen untuk mendapatkan penyelesaian permasalahan terkait.

Kerugian immateriil, antara lain karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan nilai sengketa.

Selain itu, sengketa yang diajukan untuk penyelesaian melalui OJK juga harus (i) tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau lembaga mediasi; (ii) belum pernah difasilitasi oleh OJK; dan (iii) diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan disampaikan oleh Bank kepada Konsumen.

Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui OJK

Dalam melaksanakan fasilitas penyelesaian sengketa, OJK menunjuk fasilitator yang merupakan petugas OJK di bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Direktorat Pelayanan Konsumen OJK.

Setelah itu Konsumen dan Bank wajib menandatangani perjanjian fasilitasi yang pada pokoknya menyatakan Konsumen dan Bank telah sepakat untuk memilih penyelesaian sengketa difasilitasi oleh OJK dan akan tunduk dan patuh pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh OJK.

Proses pelaksanaan fasilitasi oleh OJK paling lama 30 hari kerja sejak penandatanganan perjanjian fasilitasi, dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan Konsumen dan Bank. Kesepakatan hasil dari proses fasilitasi oleh OJK dituangkan dalam akta kesepakatan yang ditandatangani Konsumen dan Bank. Menurut SEBI No. 8/2006 akta kesepakatan bersifat final dan mengikat, artinya sengketa yang telah diselesaikan tidak dapat diajukan untuk proses fasilitasi ulang di OJK dan berlaku sebagai undang-undang bagi Konsumen dan Bank. Pelanggaran atas pelaksanaan ketentuan dalam akta kesepakatan merupakan wanprestasi dan dapat dituntut melalui gugatan perdata.

            Jika tidak ada kesepakatan maka Konsumen dan Bank menandatangani berita acara hasil fasilitasi OJK dan Konsumen dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

 

Manfaat Perlindungan Konsumen

Manfaat Perlindungan Konsumen

Secara umum, pelaksanaan perlindungnan konsumen diharapkan dapat mensejajarkan kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen sehingga mampu menciptakan kondisi pasar yang sehat dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Khusus di sektor jasa keuangan, perlindungan konsumen yang dilakukan OJK memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, antara lain meningkatkan aspek transparansi produk dan jasa keuangan.

“Melalui transparansi yang ditunjang ketersediaan dan kelengkapan informasi yang memadai akan mendorong konsumen dan masyarakat lebih mengetahui manfaat, biaya, dan risiko dari produk dan jasa keuangan sebelum membelinya. Sebab, mereka punya kesempatan luas untuk memilih dan membandingkan beragam produk yang ditawarkan lembaga jasa keuangan,” ungkap Kusumaningtuti S. Soetiono, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK.

Kemudian, lanjutnya, bagi lembaga jasa keuangan sendiri, perlindungan konsumen akan memberikan manfaat dalam menumbuhkembangkan entitas bisnis. Sebab, masyarakat merasa lebih aman menggunakan produk dan jasa yang ditawarkan lembaga jasa keuangan sehingga loyalitas dan jumlah mereka terus meningkat. “Kondisi ini tentu akan meningkatkan keuntungan bagi lembaga jasa keuangan,” imbhunya.

Upaya perlindungan konsumen yang dilakukan oleh OJK sangat bermafaat bagi pemerintah dan lembaga terkait dalam menciptakan perilaku lembaga jasa keuangan yang prudent serta mewujudkan konsumen dan masyarakat yang paham akan produk maupun jasa keuangan. Kedua hal tersebut akan menghasilkan industri keuangan yang disiplin (market discipline) yang pada akhirnya akan semakin memperluas akses keuangan. Kondisi itu juga akan mendukung program pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera.

Sebaliknya, ada banyak risiko yang bakal terjadi manakala aspek perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan belum bahkan tidak dilaksanakan secara optimal di suatu negara. Setidaknya, ada lima risiko yang akan dihadapi pemerintah, yaitu: Pertama, tidak tumbuhnya budaya perlindungan konsumen (consumer¬focused culture) baik di tingkat lembaga jasa keuangan maupun industri keuangan .

“Kondisi ini merupakan risiko yang signifikan jika dikaitkan dengan upaya suatu negara dalam mewujudkan market confidence. Tanpa market confidence, industri jasa keuangan di suatu negara tidak akan berkembang dengan baik dan berkelanjutan,”

Kedua, rendahnya pengawasan dan tata kelola produk dan jasa keuangan yang ditawarkan kepada konsumen dan masyarakat. Kerentanan risiko yang dihadapi konsumen akan meningkat ketika dalam desain produk, pemasaran, dan jika terjadi sengketa tidak tertangani dengan baik. Aspek manajemen risiko dengan memperhitungkan risiko penerapan perlindungan konsumen menjadi bagian penting yang tidak hanya dipandang sebagai pelengkap aspek kesehatan kelembagaan.

Ketiga, meningkatnya bahaya keamanan data konsumen. Perlindungan data pribadi sebagai faktor penting melindungi kepentingan konsumen. Memastikan tidak untuk penyalahgunaan sehingga merugikan konsumen, termasuk data yang memerlukan persetujuan jika akan digunakan lembaga jasa keuangan untuk penawaran produk dan jasa.

Keempat, perjanjian baku yang tidak memenuhi aspek keadilan. Perjanjian dalam industri keuangan sebagian besar mengandung unsur klausula baku yang tentu harus dipastikan tidak merugikan konsumen, termasuk transparansi terhadap manfaat, biaya dan risiko. Kemudian kelima, tidak tersedianya mekanisme penanganan pengaduan yang memadai bagi konsumen.

“Konsumen memerlukan kepastian penanganan pengaduan dan langkah lanjutan jika pengaduan tersebut berujung kepada sengketa. Forum penyelesaian sengketa yang disepakati dalam perjanjian perlu dilaksanakan secara konsekuen antara kedua belah pihak termasuk jika kemudian terdapat alternatif penyelesaian dilakukan diluar pengadilan,” tukas Kusumaningtuti.

 

Perbedaan Kodifikasi dengan Unifikasi Hukum

Perbedaan Kodifikasi dengan Unifikasi Hukum

Kodifikasi Hukum

Menurut Black Law Dictionary 9th Edition pengertian kodifikasi adalah:

Codification – the process of compiling, arranging, and systematizing the laws of a given jurisdiction, or of a discrete branch of the law into an ordered code.

Kodifikasi hukum menurut R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (hal. 77) adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama.

Tujuan dari kodifikasi hukum adalah agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan hukum) dan suatu rechts-zakerheid (kepastian hukum).

Yang dianggap sebagai suatu kodifikasi nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code Napoleon. Dinamakan Code Napoleon karena Napoleonlah yang memerintahkan dan mengundangkan Undang-Undang Perancis sebagai Undang-Undang Nasional pada permulaan abad XVIII setelah berakhirnya revolusi politik dan sosial di Perancis.

Contoh kodifikasi adalah hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hukum perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum dagang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Mengapa tumbuh kodifikasi hukum? Adalah untuk mengatasi tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum di suatu negara. Di Indonesia, sebelum adanya kodifikasi atau hukum nasional yang berlaku adalah hukum adat. Menurut V. Vollenhoven di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat hukum adat atau rechtsgemeenschappen. Tiap-tiap rechtsgemeenschap memiliki hukum adatnya sendiri yang berbeda dengan hukum adat di rechtsgemeenschap yang lain, sehingga bagi keseluruhan wilayah Indonesia tidak ada kesatuan dan kepastian hukum.

            Jadi secara nasional tidak terdapat kesatuan hukum dan kepastian hukum karena masing-masing daerah memakai hukumnya sendiri-sendiri yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Maka demi adanya kesatuan dan kepastian hukum, Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya, diperlukan kodifikasi.

Unifikasi Hukum

Umar Said dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia Sejarah dan Dasar-Dasar Tata Hukum Serta Politik Hukum Indonesia yang dikutip oleh Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, dalamJurnal Advokasi Vol. 5 Perkembangan Hukum Indonesia dalam Menciptakan Unifikasi dan Kodifikasi Hukum (hal. 118), menyebutkan bahwa unifikasi adalah penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional.

Penyatuan hukum secara nasional untuk hukum yang bersifat sensitif yaitu hukum-hukum yang mengarah kepada pelaksanaan hukum kebiasaan sangat sulit untuk diunifikasi karena masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang berbeda seperti contohnya Undang-Undang tentang Pornografi yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat di daerah yang menganggap jika dilaksanakan akan mempengaruhi esensi pelaksanaan kegiatan adat di daerah mereka.

Contoh unifikasi hukum lainnya yang kami temukan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dimana di setiap wilayah Indonesia memiliki adat tersendiri dalam perkawinan. Oleh karenanya, dibentuklah UU Perkawinan sebagai penyatuan dan penyeragaman hukum untuk diberlakukan di negara Indonesia sebagai hukum nasional.

Jadi, perbedaan antara kodifikasi dengan unifikasi adalah unifikasi merupakan penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional, sedangkan kodifikasi adalah pembukuan hukum dalam suatu kumpulan Undang-Undang dalam materi yang sama.

 

Menjadi Konsumen yang Cerdas

Menjadi konsumen yang cerdas

Berdasarkan catatan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) hanya 38% konsumen Indonesia yang menyadari bahwa mereka mempunyai hak dan 11% diantaranya mengetahui bahwa hak tersebut dilindungi Undang-undang. Artinya ada sekitar 62% masyarakat Indonesia yang belum tahu soal hak-hak konsumen.

Pelanggaran terhadap hak konsumen masih banyak terjadi misalnya produk yang kadaluarsa, berat tidak sesuai, barang cacat, barang mengandung bahan berbahaya, daging sapi glonggongan, daging sapi campur celeng, ayam tiren, dan ayam berformalin. Setidaknya, pada pengawasan pemerintah Tahap VI yang dilakukan selama bulan November -Desember 2012 lalu telah ditemukan 100 produk yang diduga tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Dari 100 produk tersebut sebanyak 8 produk di antaranya diduga melanggar persyaratan terkait Standar Nasional Indonesia (SNI), 29 produk diduga melanggar ketentuan Manual dan Kartu Garansi (MKG), 62 produk diduga melanggar ketentuan label dalam Bahasa Indonesia, serta 1 produk yang tidak memenuhi ketentuan produk yang diawasi distribusinya.

Sementara hasil pengawasan yang dilakukan oleh Kemendag secara keseluruhan selama kurun waktu tahun 2012 telah ditemukan 621 produk yang diduga tidak memenuhi ketentuan. Jumlah temuan ini meningkat sebesar 28 produk dibandingkan tahun 2011. Dari temuan tersebut 61% merupakan produk impor dan 39% merupakan produksi dalam negeri. Berdasarkan jenis pelanggarannya sebesar 34% produk diduga melanggar persyaratan SNI, 22% diduga melanggar MKG, 43% diduga melanggar ketentuan label dalam Bahasa Indonesia, serta 1% diduga tidak memenuhi ketentuan produk yang diawasi distribusinya.

Sedangkan berdasarkan kelompok produk yang diduga tidak memenuhi ketentuan, sebanyak 39% merupakan produk elektronika dan alat listrik, 20% produk alat rumah tangga, 13% produk suku cadang kendaraan, serta sisanya adalah produk bahan bangunan, produk makanan minuman dan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Oleh karena itu semua masyarakat selaku konsumen harus bisa menjadi konsumen yang cerdas, teliti, dan cermat dalam memilih barang-barang yang akan dikonsumsi. Selain itu, setiap orang juga harus mengetahui hak dan kewajibannya sebagai konsumen yang baik. Kita juga harus tahu bahwa konsumen mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh Undang-undang dan mengetahui akses ke lembaga perlindungan konsumen untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan pengetahuan ini maka tingkat kesadaran masyarakat dalam melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya bisa menjadi lebih tinggi.

Kiat menjadi konsumen cerdas :

  1. Tegakkan hak dan kewajiban selaku konsumen

Konsumen diajarkan untuk kritis dan berani memperjuangkan haknya apabila barang/jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, tetapi konsumen juga harus mengerti kewajibannya sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

  1. Teliti Sebelum Membeli

Konsumen diajarkan selalu mempunyai kebiasaan untuk teliti atas barang dan/atau jasa yangditawarkan/tersedia di pasar. Minimal secara kasat mata dapat digunakan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari barang dan/ atau jasa tersebut, dan bila kurang jelas/paham, dapat menyampaikan untuk bertanya atau untuk memperoleh informasi atas barang dan/atau jasatersebut. Berdasarkan hal ini, dapat diperoleh gambaran umum atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan di pasar.

  1. Perhatikan label, Manual dan Kartu Garansi (MKG), dan masa kadaluarsa
  2. Label

Barang yang dijual sebaiknya terbungkus rapi dan disertai label. Dalam label dicantumkan antara lain: kondisi/keadaan, kegunaan, komposisi, manfaat, aturan pakai, masa berlaku, dan identitas pelaku usaha. Untuk produk yang berkaitan dengan Kesehatan, Keselamatan, Keamanan dan Lingkungan (K3L) harus memuat informasi: simbol bahaya, pernyataan kehati-hatian dan atau peringatan yang jelas.

Wajib label berbahasa Indonesia PEMERINTAH melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 22/M-DAG/PER/5/2010 tanggal 21 Mei 2010, memberlakuan wajib label berbahasa Indonesia bagi produk yang beredar di Indonesia sebagai langkah meningkatkan perlindungan konsumen. Permendag ini merupakan perbaikan atas Permendag No. 62/M-DAG/PER/12/2009. Produk yang akan diedarkan atau diperdagangkan di pasar Indonesia harus sudah mencantumkan berbagai informasi/keterangan produk dalam label berbahasa Indonesia Seratus tiga buah produk yang wajib mencantumkan label berbahasa Indonesia adalah:

  1. Elektronika keperluan rumah tangga, telekomunikasi dan informatika (46 produk);
  2. Sarana bahan bangunan (8 produk);
  3. Keperluan kendaraan bermotor (suku cadang dan lainnya) (24 produk); dan
  4. Daftar jenis barang lainnya (25 produk) a.l. kabel listrik, kaos kaki, alas kaki dan produk kulit, saklar, mainan anak, serta pakaian jadi.

Aturan ini akan menjamin bahwa konsumen dapat segera memperoleh hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur atas produk yang dibeli, dipakai, digunakan atau dimanfaatkan.

Bagi barang impor pencantuman label diberlakukan sejak produk memasuki daerah pabean, sedangkan untuk barang produksi dalam negeri pencantuman label diberlakukan saat barang akan beredar di pasar.

  1. Manual dan Kartu Garansi

Bila membeli produk telematika dan elektronika harus dilengkapi dengan petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan garansi purna jual dalam Bahasa Indonesia. Petunjuk penggunaan (manual) adalah buku, lembaran atau bentuk lainnya yang berisi petunjuk atau cara menggunakan (dalam bahasa Indonesia) produk telematika dan elektronika. Petunjuk penggunaan harus memuat : nama dan alamat produsen/importer, merk, jenis,tipe dan model produk, cara penggunaan sesuai produk, dan petunjuk pemeliharaan. Kartu jaminan/garansi purna jual dalam bahasa Indonesia adalah kartu yang menyatakan adanya jaminan ketersediaan suku cadang serta fasilitas dan pelayanan purna jual produk telematika dan elektronika. Teliti untuk melihat manual dan kartu garansi yang setidaknya mengandung informasi:

  1. Masa garansi
  2. Biaya perbaikan gratis selama masa garansi yang diperjanjikan
  3. Pemberian pelayanan purna jual berupa jaminan ketersediaan suku cadang dalam masa garansi dan pasca garansi
  4. Nama dan alamat pusat pelayanan purna jual (service centre)
  5. Nama dan alamat tempat usaha produsen (perusahaan/pabrik) untuk produk dalam negeri dan
  6. Nama dan alamat tempat usaha importir untuk produk impor

Lingkup layanan purna jual terkait dengan:

  • Jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian produk atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi;
  • Penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi produk, prosedur, buku petunjuk, leaflet, brosur,skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti;
  • Ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center);
  • Ketersediaan suku cadang didalam lingkup pelayanan purna jual tersebut terkandung hak-hak konsumen, kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha.
  1. Masa Kadaluarsa

Perhatikan masa kadaluarsa agar berhati-hati terhadap barang yang masuk kedalam tubuh atau yang digunakan di luar/atas tubuh. Karena barang tersebut sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan, keamanan dan keselamatan lingkungan (K3L) konsumen.

  1. Pastikan Produk Sesuai dengan Standar Mutu K3L (Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup)

Konsumen diajak untuk mulai akrab dengan produk bertanda SNI dan memperhatikan produk yang sudah yang wajib SNI. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan Berlaku secara Nasional. Dengan SNI, produsen paham akan kepastian batas mutu atau kualitas yang diterima pasar, konsumen memperoleh kepastian kualitas dan keamanan produk, sementara publik dilindungi dari segi keamanan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungannya. Setiap barang yang akan dibeli, baik ekspor maupun impor harus ada tercantum label SNI, sehingga tidak mengecewakan masyarakat atau konsumen. Sesuai peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 tahun 2007, barang dan jasa yang diperdagangkan wajib mencantumkan label SNI.

Perlunya masyarakat harus membeli barang yang ada SNI karena dewasa ini masih banyaknya ditemui di sejumlah toko dan pusat perbelanjaan, produk tanpa memiliki label SNI. Sampai saai ini jumlah SNI telah mencapai 6520 judul dan sebanyak 84 (delapan puluh empat) produk sudah diberlakukan SNI-Wajibnya. Standar lain yang diberlakukan di dunia adalah Japanese Industrial Standards (JIS), British Standards (BS), American Society for Testing and Materials (ASTM), Codex Standard, Conformité Européenne (CE), dan lain-lain.

  1. Beli sesuai kebutuhan, bukan keinginan

Konsumen diajak untuk mempunyai budaya perilaku tidak konsumtif artinya bukan barang dan/atau jasa yang menguasai atau mempengaruhi konsumen andalah sebagai konsumen yang menguasai keinginannya untuk membeli barang dan/atau jasa.

Jangan mudah tergiur barang diskon/obral:

  • Sebelum memutuskan untuk membeli barang, teliti dan periksa kualitas barang untuk mengetahui apakah ada cacat produk atau tidak.
  • Pahami pula prosedur dan ketentuan yang berlaku untuk program diskon.
  • Tidak ada salahnya berbelanja saat ada pesta diskon. Namun, jangan sampai mengorbankan kebutuhan lain yang lebih penting.
  • Belilah barang yang dibutuhkan saja, buat catatan/bawalah partner yang bijak sebagai pengingat.
  • Belilah dengan uang tunai, agar belanja lebih terkontrol
  • Membuat perbandingan harga dengan barang sejenis

Terpenting dari itu, sebagai konsumen kita semua juga harus dapat mempertahankan dan meningkatkan tanggung jawab sosial sebagai konsumen dengan cara membeli produk dalam negeri, bijak menjaga bumi, dan pola konsumsi pangan yang sehat.

 

Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli

 

Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli

Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang Anti Monopoli )

Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

 

Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 :

  • Monopoli : merupakan suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
  • Praktek Monopoli : suatu usaha pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebiha pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
  • Pelaku Usaha : setiap orang perorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
  • Persaingan tidak sehat : persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

 

Kegiatan yang Dilarang

 

  1. Monopoli, beberapa kriteria monopoli :
  1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa apabila :
  1. barang dan jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.
  2. mengakibatkan pelaku usaha laini tidak dapat masuk dalam persaingan dan jasa yang sama.
  3. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, jenis barang dan jasa tertentu.

 

  1. Monopsoni, berdasarkan pasal 18 UU No 5 Tahun 1999, dilarang praktek monopsoni sbb :
  1. Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
  2. Pelaku usaha pataut diduga dianggap menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

  1. Penguasaan Pasar.

            Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun

     bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan

     usaha tidak sehat berupa :

  1. menolah dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
  2. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
  3. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
  1. Persekongkolan.

            Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU No 5 Tahun 1999 dalam pasal 22

     sampai dengan pasal 24, yaitu :

  1. dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
  2. dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
  3. dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi, pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau di pasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang dipersyaratkan.

  1. Posisi Dominan.

            Dalam Pasal 1 angka 4 UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominant merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti, dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai sebagai pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar

 

 

PERPUSTAKAAN DAN HAKI

PERPUSTAKAAN DAN HAKI

Zaman global sekarang, pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Karena pendidikan merupakan akar dari peradaban sebuah bangsa. cara yang dapat kita capai. DIANTARANYA MELALUI PERPUSTAKAAN Karena di perpustakaan berbagai sumber informasi bisa kita peroleh, selain itu banyak juga manfaat lain yang dapat kita peroleh melalui perpustakaan.
Ketika kita mendengar kata “Perpustakaan”Apa yang langsung terbayang di benak kita???
PERPUSTAKAAN

suatu institusi unit kerja yang menyimpan koleksi bahan pustaka secara sistematis dan mengelolanya dengan cara khusus sebagai sumber informasi dan dapat digunakan oleh pemakainya.
Dan apa pula” pustakawan, kepustakaan, kepustakawanan dan ilmu perpustakaan”
Maksud pendirian perpustakaan…
Menyediakan sarana atau tempat untuk menghimpun berbagai sumber informasi untuk dikoleksi secara terus menerus, diolah dan diproses.
Sebagai sarana atau wahana untuk melestarikan hasil budaya manusia ( ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya ) melalui aktifitas pemeliharaan dan pengawetan koleksi.
Sebagai agen perubahan ( Agent of changes ) dan agen kebudayaan serta pusat informasi dan sumber belajar mengenai masa lalu, sekarang, dan masa akan datang.
Selain itu, juga dapat menjadi pusat penelitian, rekreasi dan aktifitas ilmiah lainnya.

Pustakawan : Orang yang bekerja pada lembaga – lembaga perpustakaan atau yang sejenis dan memiliki pendidikan perpustakaan secara formal.
Kepustakaan : Bahan – bahan yang menjadi acuan atau bacaaan dalam menghasilkan atau menyusun tulisan baik berupa artikel, karangan, buku, laporan, dan sejenisnya.
Ilmu Perpustakaan : Bidang ilmu yang mempelajari dan mengkaji hal – hal yang berkaitan dengan perpustakaan baik dari segi organisasi koleksi, penyebaran dan pelestarian ilmu pengetahuan teknologi dan budaya serta jasa- jasa lainnya kepada masyarakat, hal lain yang berkenaan dengan jasa perpustakaan dan peranan secara lebih luas.
Kepustakawanan : Hal – hal yang berkaitan dengan upaya penerapan ilmu perpustakaan dan profesi kepustakawanan.

Salah satu hal serius dalam perpustakaan adalah masalah hak atas kekayaan intelektual (HAKI) terutama pada lingkungan akademiksaat ini hak cipta (copyright) telah menjadi aset kekayaan untuk memenuhi aspek ekonomi, hukum maupun institusional yang memberikan insentif kepada pencipta seperti yang selama ini dilakukan oleh perpustakaan
HAKI DALAM PERPUSTAKAAN
Hak Kekayaan Intelektual ke dalam 2 (dua) golongan besar :
Industrial Property Rights
Copyrights And Related Rights

*Dalam perpustakaan, Hak Kekayaan yang paling dominan untuk dilindungi dan dilestarikan adalah golongan yang kedua.

Sesuai dengan sifat dasar hak Cipta yang bertujuan untuk melindungi ciptaan dan pemegang hak cipta, maka Perpustakaan adalah salah satu wahana bagi pemegang hak cipta khususnya berbentuk ciptaan yang berupa karya cetak dan karya rekam.
Pemegang hak cipta memiliki banyak hak, baik yang bersifat ekonomi maupun moral. Di samping itu juga pemegang hak cipta juga memiliki kewajiban berkenaan dengan karya yang telah dilahirkan, baik itu berupa karya cetak dan karya rekam. Bahwasannya karya intelektual harus dapat berfungsi sosial telah diregulasikan oleh pemerintah melalui ”Deposit Act”.

Undang-undang tersebut mewajibkan penerbit dan pengusaha rekaman untuk menyerahkan daftar judul karyanya kepada Pepustakaan Wilayah/ Daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi karya cetak dan rekam sebagai informasi yang merupakan hal mutlak dan penting bagi pengembangan ilmu maupun penciptaan karya intelektual lainnya di bidang teknologi.
pada Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebutkan bahwa bahan pustaka adalah semua hasil karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam.
Perpustakaan sebagai ”Deposit Act”, dinyatakan bahwa dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan dipelihara, dan dilestarikan di suatu tempat tertentu sebagai koleksi Nasional.

Berdasarkan Pasal 2 UU Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1991 Deposit Act, yang berkewajiban menserah-simpankan karya cetak dan karya rekam adalah:
1) penerbit;
2) pengusaha rekaman;
3) warga negara Indonesia yang hasil karyanya diterbitkan/direkam di luar negeri;
4) orang atau badan usaha yang memasukkan karya cetak dan/atau karya rekam mengenai Indonesia.
Karya cetak yang wajib diserahkan kepada Perpustakaan Nasional dan atau Perpustakaan Daerah menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1991 terdiri dari :
Buku Fiksi;
Buku Non Fiksi;
Buku Rujukan;
Karya Artistik;
Karya Ilmiah yang dipublikasikan;
Majalah;
Surat kabar;
Peta;
Brosur;
Karya Cetak lain yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional.
Karya rekam yang wajib diserahkan kepada Perpustakaan Nasional dan/atau Perpustakaan Daerah menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah tersebut di atas terdiri atas Karya intelektual dan/atau artistik yang direkam dan digandakan dalam bentuk pita atau piringan, seperti film, kaset audio, kaset video, video disk, piringan hitam, disket dan bentuk lain sesuai dengan perkembangan teknologi.

 

Upah dalam Perspektif Hukum

Upah dalam Perspektif Hukum

UPAH Adalah hal yang krusial dalam hubungan kerja. Upah menjadi salah satu issue yang sering menjadi penyebab rusaknya hubungan harmonis antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Tidak hanya soal upah minimum yang menjadi “pertikaian” rutin tahunan, namun di level mikro (perusahaan) penerapan upah dan hak-hak pekerja/buruh terkait upah juga tidak kalah problematik. Oleh karena itu, penulis mencoba memaparkan upah dalam perspektif hukum. Tulisan ini diharapkan dapat membantu meminimalkan potensi atau konflik pekerja/buruh dan pengusaha yang disebabkan oleh prinsip upah dan penerapannya.

Oleh karena ini adalah perspektif hukum, maka tulisan ini sepenuhnya didasari pada Undang-undang. Selain Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan ketenagakerjaan.

APAKAH UPAH ITU?

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Maksudnya jika sudah ada di dalam perjanjian kerja, maka pembayaran upah dalam perjanjian kerja yang berlaku. Bila sudah dicantumkan di dalam kesepakatan, maka pembayaran upah dalam kesepakatan itu yang berlaku. Namun, jika tidak ada, baik di dalam perjanjian kerja maupun kesepakatan, maka pembayaran upah yang berlaku mengikuti ketentuan pengupahan yang ditentukan oleh undang-undang dalam hal ini tentang upah minimum (termasuk upah minimum sektoral, upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral kabupaten/kota).

APA HAK PEKERJA/BURUH TERKAIT PENGHASILAN?

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini adalah prinsip dasarnya, yang melindungi pekerja/buruh atas penghasilan untuk memenuhi kehidupan yang layak.

SIAPA YANG MENENTUKAN UPAH?

Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Dalam hal ini pemerintah propinsi menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP). Sedangkan Pemerintah Kabupaten Kota yang menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Minimum Sekotoral Kabupaten/Kota (UMSK). Adapun UMP, UMSP, UMK dan UMSK adalah berlaku khusus bagi pekerja/buruh lajang yang belum menikah dan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Sedangkan bagi pekerja/buruh di perusahaan yang sudah menikah atau telah bekerja lebih dari 1 (satu) tahun di level mikro, penentuan upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan serikat pekerja/buruh atau penetapan sepihak oleh perusahaan (dalam hal belum ada serikat pekerja/buruh). Bagi pekerja/buruh tersebut tidak boleh didasarkan hanya pada UMP, UMSP, UMK atau UMSK.

APA SAJA KEBIJAKAN PENGUPAKAN YANG DITETAPKAN PEMERINTAH?

Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh yang ditetapkan pemerintah meliputi:

upah minimum;

upah kerja lembur;

upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

bentuk dan cara pembayaran upah;

denda dan potongan upah;

hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

upah untuk pembayaran pesangon; dan

upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

APA DASAR PEMERINTAH MENETAPKAN KEBIJAKAN UPAH MINIMUM?

Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan dua hal, yakni: (1) aspek produktivitas dan (2) aspek pertumbuhan ekonomi.

ADA BERAPA JENIS UPAH MINIMUM?

Upah Minumum ada 2 (dua) jenis:

upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

Baik upah minimum berdasarkan wilayah, maupun sektor oleh Pemerintah diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Urut-urutan keberlakukan upah apakah UMP, UMSP, UMK atau UMSK adalah mana di antara upah minimum tersebut yang diberlakukan dan lebih baik bagi pekerja/buruh. Artinya, jika UMK sudah ditetapkan, dan UMSP pun sudah ditetapkan, maka dilihat mana yang lebih baik nilainya bagi pekerja/buruh.

SIAPA YANG BERWENANG MENETAPKAN UPAH MINIMUM?

Upah Minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

DI MANA DIATUR KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK?

Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri. Saat ini Menteri Tenaga Kerja telah menerbitkan dan memberlakukan Permenaker Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak

BOLEHKAH PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH LEBIH RENDAH DARI UPAH MINIMUM?

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Tidak boleh pengusaha membayar lebih rendah dari upah minimum. Upah minimum mana, apakah UMP, UMSP, UMK atau UMSK yang dilarang untuk dibayarkan kurang dari ketentuan? Yang dilarang adalah dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum tertinggi yang telah ditetapkan. Apabila di antara 4 (empat) jenis upah itu yang tertinggi dan sudah sudah berlaku adalah UMSP, maka pengusaha dilarang membayar upah kurang dari nilai UMSP.

BAGAIMANA JIKA PENGUSAHA TAK MAMPU MEMBAYAR UPAH MINIMUM?

Jangan dilanggar, namun solusi bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum adalah dapat dilakukan penangguhan. Tata cara penangguhan diatur dengan Keputusan Menteri.

Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan (permohonan izin) penangguhan pelaksanaan upah minimum (vide Pasal 90 ayat [2] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 2 ayat [2] Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, peraturan perundang-undangan sesungguhnya memberi ruang toleransi bagi pengusaha melakukan penangguhan upah minimum. Sungguhpun demikian, harus -memenuhi syarat dan ketentuan serta secara prosedural- dimohonkan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui “Disnaker” (setempat) dan mendapat persetujuan.

BERAPA KALI PENANGGUHAN UPAH DAPAT DILAKUKAN?

Undang-undang tidak menjelaskan berapa kali hal ini boleh dilakukan. Yang jelas menurut Pasal 5 ayat (1) Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/ 2003, persetujuan penangguhan upah minimum ditetapkan oleh Gubernur (SK Gubernur) untuk jangka waktu paling lama 12 (dua) belas bulan.

Selanjutnya, apabila permohonan itu mendapat restu, maka ada 3 (tiga) kemungkinan alternatif persetujuan:

Persetujuan untuk membayar upah minimum sesuai (sama dengan) upah minimum yang lama;

Persetujuan untuk membayar upah minimum lebih tinggi (maksudnya lebih besar) dari pada upah minimum yang lama, tetapi lebih rendah dari upah minimum yang baru; atau

Menaikkan upah minimum secara bertahap, sehingga pada masa yang ditentukan nilainya sama dengan upah minimum yang baru.

Jadi secara tegas, persetujuan (izin) penangguhan upah minimum diberikan hanya untuk jangka waktu paling lama 12 (bulan). Artinya, dapat diberikan (izin) penangguhan 12 (dua belas) bulan, atau mungkin juga kurang dari 12 (dua belas) bulan. Selanjutnya, setelah dua belas bulan, apakah pengusaha dapat memohon izin penangguhan lagi terhadap upah minimum yang baru sehubungan dengan terbitnya SK Gubernur mengenai upah minimum yang baru? Hal ini tidak dijelaskan lebih jauh.

Oleh karena tidak ada penjelasan, berarti tidak ada larangan bagi pengusaha untuk memohon penangguhan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan dapat dinilai wajar untuk dimohonkan penangguhan, baik berturut-turut atau dengan waktu selang (jeda) setahun atau beberapa tahun.

Apakah nantinya permohonan tersebut dapat dipenuhi oleh Gubernur atau tidak, ataukah Gubernur hanya dapat memenuhi sebagian atau secara bertahap, semuanya dinilai oleh Gubernur yang akan memberikan keputusan yang patut dan adil.

BOLEHKAH PENGUSAHA DAN SERIKAT PEKERJA/BURUH MENETAPKAN UPAH LEBIH RENDAH DARI KETENTUAN?

Di level mikro perusahaan penetapan upah dilakukan atas kesepakatan pengusaha dan serikat pekerja/buruh. Akan tetapi pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

APA AKIBAT HUKUM JIKA PENGUSAHA DAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH MENETAPKAN UPAH LEBIH RENDAH DARI KETENTUAN?

Dalam hal kesepakatan antara Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

APAKAH STRUKTUR DAN SKALA UPAH ?

Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi atau sebaliknya dari yang tertinggi sampai yang terendah. Sedangkan, skala upah adalah kisaran nilai nominal upah menurut kelompok jabatan (pasal 1 Kepmenakertrans No. 49/Men/IV/2004 tentang Struktur dan Skala Upah atau Kepmen 49).

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) disebutkan bahwa pengusaha menyusunan struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi kerja (pasal 92 ayat [1] UUK). Perintah ini dipertegas dalam Kepmen 49 bahwa pengusaha menyusun struktur dan skala upah dalam rangka penetapan upah masing-masing pekerja/buruh di perusahaan (pasal 2).

Jika dicermati penjelasan pasal 92 ayat (1) UUK maka penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah, guna adanya kepastian hukum dalam penentuan upah dan akan mengurangi kesenjangan (gap) antara upah terendah dan tertinggi. Begitu pula, berdasarkan pasal 10 Kepmen 49, Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah (pada lampiran Kepmen) adalah pedoman (acuan) dalam penyusunan struktur dan skala upah yang dilakukan (disusun) dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi kerja serta dengan mempertimbangkan kondisi (kemampuan) perusahaan.

Artinya, secara hukum, tidak ada ketentuan yang mewajibkan atau mengharuskan penyusunan struktur dan skala upah dengan pengenaan suatu sanksi tertentu. Sungguh pun begitu, dalam rangka mewujudkan hubungan industrial yang harmoni dan agar supaya ada kepastian hukum dan tidak terjadi gap serta untuk menghindari adanya kecemburuan sosial terstruktur di antara para pekerja/buruh, perlu diatur struktur dan skala upah berdasarkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi kerja, dengan tidak mengurangi hak pengusaha dalam memberi penghargaan berdasarkan kemampuan perusahaan serta tingkat produktivitas dan kinerja masing-masing pekerja/buruh, serta memberi sanksi kepada pekerja/buruh yang melanggar atau wanprestasi (vide Pasal 92 ayat [2] UUK).

Jika mengacu kepada azas kebebasan berkontrak boleh saja dilakukan penyusunan struktur dan skala upah (dalam Peraturan Perusahaan/PP atau Perjanjian Kerja Bersama/PKB) tanpa mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang dilakukan sesuai dengan mekanisme pembuatan PP atau PKB, yakni adanya saran dan masukan dari pekerja/buruh (dalam PP) atau disepakati di antara para pihak (dalam PKB) dan tetap mengindahkan syarat sahnya perjanjian.

 

Pengaduan Konsumen Indonesia Masih Rendah, dan Komentar Sang Presiden

Pengaduan Konsumen Indonesia Masih Rendah, dan Komentar Sang Presiden

SurveiKementerianPerdagangan (Kemendag) menunjukkan, keberaniankonsumen Indonesia menuntuthakterkaitkondisibarang yang dibelinyamasihrendah.

Itutampakdariindekskeberdayaankonsumen (IKK), khususnyapadatahapanperilakumengeluhataumengadu (complain), yang hanyamencapai 11,96. Kemendagmerancang IKK sebagaiindeksuntukmengukurkesadarandanpemahamankonsumenakanhakdankewajibannya, sertakemampuannyadalamberinteraksidenganpasar. Angkaituterbilangmasihsangatrendahjikadibandingkandenganangkamaksimumsebesar 100.

Yang beraniuntukmenuntuthaknyabaru 11 nan. IKK perilaku complain yang masihrendahtersebutadapadatahapanpascapembelian, di mana setelahbarang yang dibelisampai di rumah, ditemukancacattersembunyi, rusak, atau lain-lain, namun para konsumenengganmenuntuthaknyakepada para pelakuusaha

Perhitungan IKK tersebutdilakukanterhadap 600 responden yang terdiriatas 297 orang perempuandan 303 laki-lakidenganjenjangpendidikansekolahmenengahumum (SMU) hinggabergelardoktor (S-3) danberpenghasilanantara Rp200.000- 200 juta per bulan.

BagianKemendagmenjelaskan, keengganantersebutsebagianbesarkarena para konsumenmenganggapbahwauntukmenuntuthakatasba-rang yang telahdibelinya me-makanwaktu. Pengaduan juga dinilaitidaksebandingjikahargabarang yang dibelirelatifmurah. Konsumenkitaitumeremehkan. Daripada repot, terutamawaktu, apalagikalauhargabelinyamurah.

KetuaPengurusHarianYayasanLembagaKonsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmomenilai, rendahnyabudayamengadu (complain habit ) di Indonesia disebabkanduahal. Dari sisikonsumen, internalisasiataupemahamandankesadaranuntukmengadumasihrendahataubahkantidaktahubahwaitusalahsatuhaknyasebagaikonsumen.

Penyebabberikutnyadatangdarisisipelakuusaha yang tidakmembukaakseslayananpengaduansehinggakonsumentidaktahuharusmengaduke mana danbagaimanacaranya. Kalauadakeluhan, itukanpertama kali seharusnyadisampaikankepelakuusaha. Kalautidakadatanggapan, barukepihakketigaseperti YLKI.

Pastinyakitatidaklagiherandenganhasilpengukuran IKK yang menunjukkanbahwabudayamengadukonsumen di Indonesia terutamapascapembelianprodukhanya 11,96. Selamainiangkastatistik data aduan yang diterima YLKI dibandinglembagasejenis di Malaysia, Hong Kong, dan India memangrelatifjauhlebihkecil. ”Di Malaysia bisasampai 25.000 pengaduan per tahun, sedangkan kami di YLKI cuma 1.000,” sebutnya.

Sudaryatmomenambahkan, hasil IKK hendaknyadijadikan baseline data dalampenyusunan program pemerintah, khususnya di Kemendag. Dengankenyataanbahwabudayamengadumasihrendah, Kemendagharusmenggencarkanlagiduahalyaitusosialisasidanedukasikonsumensertamendorongpengusahauntukmembukaaksespoinpengaduan. ”Harusadakemudahandankeragamandalamsaluranpengaduan,” tandasnya.

SurveiKemendagatasperilakukonsumen di empatkotabesar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan juga menunjukkan IKK yang relatifrendah. Widodo mengatakan, IKK di Jakarta tercatatsebesar 43,22; Surabaya 38,74; Medan 38,56; dan Makassar 36,02 sehinggaindeksgabungandariempatkotatersebutsebesar 39,14 dariangkamaksimum 100.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, berdasarkanlaporan yang diterimanyaIndeksKepercayaanKonsumen (IKK) Indonesia tahun 2016 masihrendah, yaitu 30,86 persen, ataubarusampaipada level paham, dibandingkandengan IKK Eropa yang sudahmencapai 51,31 persen.

Sementaraterkaitperilakupengaduankonsumen, Presiden juga menilaimasihrendah. “Secara rata-rata hanya 4,1pelngaduankonsumen yang diterimadari 1 jutapenduduk Indonesia. Sementara Korea 64 pengaduankonsumenterjadi di setiap 1 jutapenduduk,” kata Presiden Jokowi dalampengantarnyapadarapatterbatastentangPerlindunganKonsumen, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (21/3) siang.

Karenaitu, Presidenmenilai, edukasikonsumendiperlukankarenadibandingkandengannegara-negara lain, konsumen Indonesia barupadatahap “paham” haknya, tapibelummampumemperjuangkanhaknyasebagaikonsumen.

Presidenmenambahkan, edukasikonsumen juga diperlukanuntukmembuatperilakukonsumenmenjadikonsumen yang cerdas, konsumen yang bijaksana, danperilakukonsumsinyadiarahkanuntuktidakterjebakpadapenyakitkonsumerisme, sertamampuuntukmelakukankonsumsi yang bersifatjangkapanjang, mulaigemarmenabungataudiinvestasikankepadasektor-sektorproduktif.

“Konsumen juga diajarkanmencintaiproduk-produkdalamnegeri, sehinggaindustrinasionalbisaberkembangdanlapanganbekerjabisaterbukalebihbanyak,” sambungPresiden.

Presiden juga menekankan, perlunyadiperhatikanmasalahperlindungankonsumen, karenahalinisangatterkaitdengankehadirannegarauntukmelindungikonsumensecaraefektif. Iamenegaskan, efektifitaskehadirannegaradilihatdarisejauh mana normadanstandarbisadipenuhi, sertadipatuhioleh para produsen. Dan sejauh mana pengawasandanpenegakanhukum juga berjalansecaraefektif.

Namunberdasarkan data yang dimilikinya, menurutPresiden, tingkatkepatuhanprodusenterhadapkesesuaianstandarprodukdengan SNI (Standarisasi Nasional Indonesia) ternyatamasihrendah. Hanya 42 persenbarang yang beredar di pasaransekaranginisesuaidengan SNI